Studi baru yang diterbitkan dalam edisi Neuron bulan ini, dilakukan
oleh Zhen Yan, PhD, Profesor di Department of Physiology and
Biophysics, UB School of Medicine and Biomedical Sciences.
“Kami telah mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara molekul
dan perilaku yang terlibat dalam respons stres,” ungkap Yan, dikutip
dari MNT, Selasa (12/3).
Masa remaja adalah saat otak sangat rentan terhadap stres. Korteks
prefrontal belum sepenuhnya berkembang sampai usia 25 tahun, dan
mengalami perubahan dramatis selama tahun-tahun remaja. Korteks
prefrontal itu seperti sebuah pusat kontrol yang mengendalikan memori,
pengambilan keputusan dan atensi.
Bila stres terjadi berulang-ulang maka akan menyebabkan penurunan
pada ketiga kemampuan tersebut. Oleh sebab itu, penting bagi remaja
mencaritahu hal-hal apa saja yang bisa dilakukannya untuk mengurangi
stres, sehingga mencegah terjadinya stres kronis dan membantu
melindungi otaknya.
Disfungsi pada korteks prefrontal juga diketahui terlibat dalam
stres, terutama yang berhubungan dengan penyakit mental. Hal ini
diketahui setelah berhasil mengidentifikasi bagaimana stres
mempengaruhi penyakit mental lainnya.
“Karena disfungsi pada korteks prefrontal disebabkan oleh stres,
maka penyakit mental yang berhubungan dengan stres akan lebih mudah
diungkap dengan memahami korteks prefrontal,” ujar Yan.
Berdasarkan penelitian ini, Yan dan tim bisa mulai menargetkan cara
yang lebih spesifik dan efektif dalam mengembangkan obat yang lebih
baik untuk penyakit mental serius.